volkova's profile picture

Published by

published
updated

Category: Books and Stories

ketemu!

“Ada yang hilang!”

    Ini bukan kali pertama berita orang hilang disiarkan. Sudah banyak kejadian yang menimpa masyarakat di desa Ujung Pulau. Anehnya, hal ini selalu saja berkaitan dengan wilayah hutan itu, yang ada di balik bukit. Desas-desus mengenai keberadaan sesosok entitas tak di kenal, makhluk entah dari mana, datang dan menguasai hampir seluruh bagian hutan.

    Dan sekarang, seorang anak hilang lagi, katanya. Memang kebanyakan korban merupakan bocah-bocah yang masih di bawah umur. Tidak ada yang tahu apa alasannya. Mereka berasumsi bahwa mungkin sebab anak-anak lebih mudah untuk di hasut. Kepolosan, kenaifan, dan kelemahan fisik mereka sangat mudah untuk di guna-guna.

    Rumor pun semakin menyebar, seperti spora. Hingga tangisan pilu terdengar dari sisi lain desa. Nampaknya kabar itu telah sampai ke telinga wali sang anak.

    “Sebenarnya apa yang terjadi?!” Seorang pria paruh baya bertanya dengan intonasi tinggi.

    “Tidakkah kau mengerti? Anakmu baru saja memasuki hutan terkutuk itu, menurutmu apa yang bisa kita lakukan? Menyusul ke sana untuk menjemputnya? Sama saja bunuh diri!” Pria lain dari rumah tetangga membalas.

    Suasana entah bagaimana malah memanas. Pihak keluarga awalnya terlihat setengah tak percaya, namun setelah mendapat kepastian dari beberapa saksi, mereka berangsur-angsur percaya. Tapi bukan berarti mereka bisa bernapas lega. Anak mereka satu-satunya dalam bahaya. Gadis kecil berumur tujuh tahun.

    Menurut para saksi, gadis itu terakhir kali terlihat ketika ia tengah bermain dengan teman-temannya di lapangan berumput tak jauh dari hutan. Anak-anak lain yang sebaya juga memberi sejumlah keterangan kepada yang lebih tua.

    Rupanya, sesaat sebelum dinyatakan hilang, siang itu si gadis memainkan permainan petak umpet bersama mereka. Salah satu anak—Riko—kebagian jaga. Sementara yang lain bersembunyi.

    “A-aku sungguh tidak tahu! Selesai menghitung, aku mulai mencari.” Ujar Riko. “Lalu, setelah beberapa saat, aku telah menemukan semuanya... kecuali Ollie.”

   Ollie adalah nama si gadis kecil. Riko juga mengatakan ia tidak bisa menemukannya di mana pun. Dia merasa temannya itu seakan tiba-tiba menghilang di telan bumi.

    Orang-orang yang mendengarnya terdiam. Antara terkejut dan biasa saja. Ada yang berempati. Apalagi melihat kondisi orang tua Ollie yang memprihatinkan. Mereka sangat terpukul akan kejadian ini. Bisik-bisik kemudian menyelimuti kerumunan. Saling mengutarakan pendapat, beberapa bahkan mengeluarkan ironi memuakkan. Mereka bilang anak gadis yang masih kecil seharusnya diam saja di rumah, jangan kemana-mana. Dan sebagai orang tua mestinya menjaga anak semata wayang mereka. Supaya tak raib di culik alien.

    “Dia baik-baik saja.” Kali ini ibu Ollie yang menyahut. Setelah cukup lama menangis sejak mendengar kabar pertama. “Pasti,” tegasnya.

    “Bagaimana?” Seseorang dari khalayak memotong. “Apa yang membuatmu yakin bahwa malaikat kecilmu berhasil bertahan? Ataukah kau sempat memberinya saran-saran agar terlepas dari kekangan orang jahat? Sayang sekali, yang kita hadapi ini bahkan mungkin tidak bisa di anggap manusia.”

    “Dia tidak pernah memasuki hutan terlarang itu. Aku sangat yakin karena aku tak pernah luput memberitahunya betapa besar risikonya jika ia masuk ke sana.” Ibu Ollie pantang mundur. Tetapi, setegar apapun wajah yang ia berusaha tampakkan, luka di jiwanya tak lama lagi akan menganga.

    “Kalau begitu mana dia? Bila ia memang tidak pernah ke hutan itu, seharusnya ia sudah kembali dari tadi.”

    Anggukan serta gumaman setuju dipaparkan ke sekeliling. Sebagian mempertimbangkan hipotesis tersebut.

    Namun sang ibu tetap bersikeras. Ia sekali lagi terlihat ingin mengeluarkan air mata, pelupuk matanya sembab kemerahan. Ketika berdiri seperti ini pun, orang-orang nyaris mengira ia akan jatuh tiba-tiba, kemudian tak sadarkan diri. Tekad beliau sangatlah besar, demi putri satu-satunya. Tidak ada yang berani menyangkal. Lagipula, mereka di hadapkan pada sesosok ibu yang mengkhawatirkan sang anak. Itu sesuatu yang wajar. Membayangkan bagaimana seandainya mereka berada di situasi yang sama, kehilangan orang yang dicintai?

    Pria paruh baya yang tadi, ayah Ollie, mengajukan diri lebih dulu. “Pokoknya, apapun yang terjadi pada putri kami, biarlah itu di serahkan kepada takdir. Untuk kemungkinan lain..” ia mengalami jeda beberapa saat. Di sini, ekspresinya tidak terbaca. Tidak ada yang mengetahui apa yang sedang ia rasakan saat ini. Sebagai salah satu orang tua Ollie, sebagai ayah, ia tentunya turut merasa kehilangan yang amat sangat. Meskipun, status keberadaan Ollie sekarang mulai agak meragukan sebab pandangan pribadi sang istri. Eksistensi dari sesuatu yang menusuk-nusuk ulu hatinya tak bisa ia hiraukan begitu saja. Ia sengaja memasang sikap tenang guna menghalau segala pemikiran buruk.

    “Kita harus mencarinya.” Potong sang istri. Ibu dari Ollie itu jelas masih belum ingin mengalah dari pendirian.

    Bisik-bisik tetangga terdengar lagi. Sekarang mulai intens. Matahari yang bersinar terik seolah-olah tak di gubris, betapa serius suasana saat ini. Tidak ada yang merasa kepanasan, mayoritas warga desa di kerumunan itu mementingkan keadaan yang lebih nyata untuk mereka hadapi. Orang-orang semakin memikirkan apa yang mesti dilakukan. Pastinya, jika terlalu lama dibiarkan, maka dipastikan keselamatan Ollie tak terjamin. Mereka berunding untuk mengambil tindakan selanjutnya

    Dan, keputusan pun di sepakati.

    Seluruh warga akan membantu mencari Ollie dengan berpencar ke sekeliling wilayah desa. Jika dalam rentang waktu pencarian tidak membuahkan hasil, maka mau tidak mau, terima tak terima, semua sudah terjadi. Ollie telah masuk jauh ke dalam hutan nan gelap, menunggu untuk diselamatkan, namun tentu sia-sia. Tidak ada yang namanya pahlawan sejati, apalagi di perkampungan terpencil seperti ini.

    Ibu Ollie memasang raut puas. Ia amat berharap lebih, terlalu berlebihan, malah. Hingga rasanya tidak ada yang tega memberitahukan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putri kesayangannya.

    “Baiklah, akan lebih baik bila kita bergerak sekarang, demi meminimalisir yang terburuk. Ayo, berpencar!” Ayah Ollie resmi memulai pencarian.

    Orang-orang pun bubar, memecah ke setiap arah sudut perkampungan mereka yang tidak terlalu luas, namun tidak pula bisa di katakan sempit. Mereka membagi tugas berdasarkan arah mata angin. Sebagian warga menuju utara, sebagian lagi ke timur, lalu barat, dan sisanya ke selatan. Ke perbatasan antara desa mereka, dan hutan.


    Matahari telah sampai di ufuk barat, langit berganti warna, pemandangan biasan cahaya jingga keemasan itu sebenarnya sangat indah kalau dalam kondisi berbeda. Namun, dengan gambaran muka masam, lelah, dan frustrasi saling bercampur aduk. Tidak satupun yang sudi menengadahkan kepala ke arah langit. Menikmati betapa indahnya fenomena matahari tenggelam sore itu.

    Pencarian itu tak dapat dikatakan sukses. Gagal pun nyatanya tidak. Mereka sudah menduga ini sedari awal. Mereka hanya membuang-buang waktu.

    Sementara, di sisi lain. Sepasang suami istri berdiri di atas bukit, memandang langit. Mereka tak mampu menerima, tapi dugaan memang tak bisa di bantah. Angin sore membelai kulit mereka yang pucat disertai beberapa kerutan. Tanda bahwa mereka sudah letih, pasrah akan kenyataan. Di hadapan mereka, hamparan luas pepohonan membentang dari sudut ke sudut, di bayang-bayangi oleh matahari yang tak lama lagi menghilang di telan kegelapan ruang hutan rimba dan segala isinya. Siap digantikan sang rembulan.


    Seorang gadis kecil berlari melewati hutan belantara yang gelap gulita. Berusaha menjauh dari sesuatu yang saat ini tengah mengikutinya. Lewat jam dua belas malam ketika gadis itu mulai menyadari bahwa sejak tadi ia hanya memutar dan kembali ke tempat ia semula berada.

    Gadis kecil itu ketakutan. Bingung apa yang harus ia lakukan. Haruskah dia lari terus-menerus sampai ia tiba di tempat yang setidaknya aman? Tapi sejak tadi sekelilingnya sama sekali tidak berubah sedikitpun. Hanya pepohonan yang dipenuhi kegelapan yang mencekam.

    Atau haruskah ia menyerah dan menghadapi makhluk tak dikenal itu seorang diri? Memasrahkan hidupnya padanya? Gadis itu tidak memiliki nyali apapun untuk melakukannya. Semuanya terasa membingungkan juga menakutkan. Segala sesuatu disekitarnya bagaikan ilusi yang tidak pasti. Kecuali satu.

    Dia tidak mau mati.

    Kenapa pula dia dihadapkan akan situasi ini? Bukankah seharusnya ia bermain petak umpet bersama teman-temannya di desa? Kenapa ia menghiraukan nasihat mereka, terutama orang tuanya, untuk tidak mendekati hutan? Apalagi sampai masuk ke dalamnya. Berbahaya, kata mereka. Dan sekarang ia menyesali keegoisannya.

    Makhluk itu tetap mengikuti di belakang. Hanya butuh hitungan detik baginya untuk segera menemukan lokasi gadis itu berada.

    Hutan ini adalah wilayahnya. Dia mengetahui setiap jengkal bagian hutan ini. Ia juga bisa memanipulasi segala hal di tempat ini semaunya. Dan barang siapapun yang berani menginjakkan kaki di teritorinya, tidak perlu berharap terlalu banyak. Tapi juga tidak usah takut. Karena kau akan segera menemukan kedamaian yang tiada tara setelahnya. Namun, tentunya tidak akan semudah itu.

    Prosesnya akan sangat menyakitkan kau tahu? Tapi jangan khawatir, semua akan berjalan dengan baik dan lancar selama kau menuruti keinginannya.

    Kematian.

    Makhluk aneh dengan wujud yang sulit untuk dideskripsikan itu menginginkan jiwa gadis kecil ini. Betapa malang nasibnya. Harus bermain petak umpet bersama sesuatu yang tidak ia ketahui keberadaannya sebelumnya.

    Nyawanya dipertaruhkan. Itulah kenapa gadis itu masih belum menyerah menghadapi makhluk yang sebenarnya membuat bulu kuduknya meremang sejak tadi.

    Ia terus berlari tanpa henti. Tubuhnya yang kecil dan lincah memudahkannya dalam bergerak. Meskipun ia tetap tidak dapat keluar dari jangkauan makhluk itu—yang semakin lama makin jengkel ketika gadis itu berhasil menghindar dari tangkapannya.

    Makhluk itu tidak tahan lagi. Sampai kapan ia harus mengejar bocah ini? Membuang-buang waktu. Ia kelaparan. Jiwa gadis itu harus segera dihisap olehnya. Sebelum dirinya sendiri menghilang ditelan oleh kegelapan.

    Sementara, gadis kecil itu mulai kesulitan bernapas karena terlalu lama berlari dan menghindar.

    “Kemarilah Nona Kecil, tidak usah takut. Semua akan segera berakhir ketika kau menyerahkan dirimu padaku.” Suara serak nan mengerikan itu menggema di sekeliling kawasan hutan tersebut.

    Tubuh gadis itu semakin gemetar. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Tapi dia masih terus berlari. Mengejar harapan yang tidak pasti.

    Ketika itu, sesuatu yang tajam menancap di pergelangan bagian atas tangan kirinya. Ia mengerang. Rasa sakit menyebar ke seluruh pergelangan tangannya. Darah mengucur deras dari tempat di mana benda itu mendarat. Merembes ke pakaiannya yang mulai basah.

    Ia melihat ke arah benda tajam yang tampak seperti duri itu. Si gadis merasakan ngeri ketika melihat tangannya sendiri. Ia menahan napas, kemudian mencabut benda itu dengan segala keterpaksaan. Ia menggigit bibir bawahnya. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan suara.

    Gadis kecil itu menangis. Rasa sakit, lelah, cemas dan takut bercampur jadi satu. Ia juga frustrasi, karena sejak tadi ia tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk dirinya sendiri.

    Dan kenapa hal ini harus terjadi padanya. Oh, ibu. Maafkan aku. Kumohon, selamatkan aku. Siapa saja..

    Dia lanjut berlari sambil tersendat-sendat menahan rasa nyeri yang semakin menjadi-jadi. Darah semakin membanjiri lengannya, menebarkan bau anyir yang tak tertahankan.

    Tanpa ia sadari, dari arah kanan, tiba-tiba muncul sebuah sulur panjang yang dengan cepat langsung mengikat pergelangan kakinya. Si gadis terlonjak kaget. Ia terjatuh. Sambil meringis kesakitan, dia berusaha sekuat sisa tenaga untuk bangkit.

    Sia-sia. Sulur itu bukan berasal dari dahan pepohonan di sekitar. Benda itu berwarna hitam pekat. Seperti bayangan. Lalu, sesuatu yang terlihat seperti sulur tumbuhan itu kembali bergerak. Kali ini melilit kaki kecil gadis malang itu.

“..tidak, jangan.., kumohon...” tangisnya.

    Si gadis semakin merintih kesakitan. Ada luka di beberapa bagian tubuhnya. Itu disebabkan karena sejak tadi ia berlari tanpa memedulikan sekitar. Entah sudah berapa dahan dan ranting yang ia terobos sehingga membuat banyak luka goresan. Ditambah dengan luka bekas benda tajam yang tadi menancap di lengannya. Serta cedera di lutut akibat tersandung.

    “Tolong!” Ia menjerit. Sayang seribu sayang, dewi keberuntungan sedang tidak ingin merestui keinginan tersebut.

    Sulur itu kemudian mengangkatnya, dalam posisi terbalik. Ketika ia mulai sadar akan situasinya saat ini, ia merasa aneh. Kepala terasa amat pusing. Perut bagian tengah terasa bergemuruh seakan ada sesuatu yang memaksa ingin keluar. Kunang-kunang mengitari bola mata, dan pandangannya mulai kabur.

    Sekujur tubuh seakan mati rasa. Sakit. Lelah. Ia putus asa. Kemudian menyadari bahwa makhluk itu sudah berada di hadapannya. Mata yang besar membulat, cekung di bagian tengah. Tatapannya kosong—tentu saja karena memang tidak ada apapun di sana. Makhluk itu tersenyum kepadanya. Yang anehnya malah terlihat sangat mengerikan dan tidak normal. Seperti ia tidak ditakdirkan untuk tersenyum.

    “Ketemu.”



fin.


0 Kudos

Comments

Displaying 0 of 0 comments ( View all | Add Comment )