volkova's profile picture

Published by

published
updated

Category: Books and Stories

cacing

Pada suatu hari yang cerah, ialah sebuah pembukaan yang amat mudah dan klise untuk memulai cerita. Tapi di sinilah kita.

    Ingatanku yang terakhir, merupakan momen ketika aku bersama Wendy dan Shun berkeliaran di kawasan rumah sakit lama yang terbengkalai akibat bangkrut sejak suatu waktu dimana negeri ini mengalami krisis ekonomi moneter. 

    Mungkin hal ini bisa dianggap sebagai aktivitas 'aneh' bagi sebagian orang. Tetapi bagiku, Shun, dan terutama Wendy, dengan segumpal rasa penasaran serta jiwa penjelajah—yang sering menusuk sukma kami tiap kali mendengar kata 'hilang', 'asing', juga 'terbengkalai'—tidak mampu untuk tidak berjingkrak-jingkrak heboh di ruangan kelas sambil mengarahkan seluruh topik pembicaraan hanya mengacu ke sana.

    Mulanya sebagai akibat dari keresahan geng Funky terhadap aksi kami itu untuk kesekian kalinya. Si nona ketua, Yupi, mendorong sejumlah siswa yang mengerumuni obrolan panas kami di kelas pada senin pagi dan berkata dengan nada hina:

    "Lo bertiga, gobloknya emang nggak ketulungan ya? Makanin gosip bulat-bulat tiap hari, nggak bosan apa? Mana sampai bikin ribut sekelas, lagi. Berisik tau ga." Ujarnya, logat ala anak ABG-nya nampak jelas hingga ke ubun-ubun.

    Aku hanya diam, tak berniat menyahut. Karena mau bagaimanapun kami merespon, hasilnya tidak akan jauh berbeda. Namun aku bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Wendy beranjak dari meja yang ia duduki, segera saja berhadapan langsung dengan tubuh Yupi yang lebih tinggi darinya, semenjulang tiang listrik di tepi jalan. Dibandingkan sahabatku itu yang bagaikan pohon cabai punya nenek di kampung. Mengingat para anggota Funky cukup mendominasi di berbagai bidang ekstrakurikuler.

    Tapi itu masih belum cukup untuk menciutkan mental Wendy. Ia mungkin kecil dan pendek, tetapi jika kau berani memakannya tanpa aba-aba, bersiaplah untuk disambarnya dari dalam.

    "Heh permen Yupi, apa sih masalahmu? Salah ya, kami bersenang-senang? Kalau iri bilang, deh. Jangan malu. Atau kau memang suka risih, karena kami-lah yang berhasil merebut perhatian anak-anak akhir-akhir ini, bukannya kau dan geng poco-pocomu yang sok berkuasa. Hm, menurutmu, manakah yang akan lebih dipilih?" Wendy menambahkan kalimat terakhir sembari memegang dagunya.

    Aku dan Shun saling tatap, bergantian memandang bagaimana warna muka Yupi mulai berubah.

    Sahabatku yang gila itu menambahkan: "Oh, nampaknya anak mami sebentar lagi akan meledak, mengadu betapa kami mengganggu ketenangan gadis primadona sekolah. Dan oh, bahwa ada satu dari ketiga pengganggu itu yang berani menaruh lumpur ke wajah putih tak bernajis-nya sampai kemerah-merahan menahan malu..," Wendy melirik pupil milik Yupi yang mengecil, ia menyeringai. "Benar?"

    Brak!

    Satu meja dibuat jungkir balik. Terbanting tidak jauh dari posisi Wendy berdiri. Jelas hampir mengenainya, atau mungkin memang sengaja ditujukan ke arahnya. Reflek, aku bangkit menghampiri sahabatku itu. Sedangkan Shun yang lebih sigap dariku, menarik bahu Wendy agar menjauh.

    Kelas seketika menjadi hening. Disusul bisik-bisik dari siswa-siswa lain. Yupi rupanya telah mundur beberapa langkah ke belakang, ia dan tatapan dengkinya dihalau seseorang berbadan tinggi gempal. Berambut klimis dan mata sipit seperti orang Asia Timur. Kami semua mengenalnya, tidak ada yang tak kenal geng Funky dari ketua hingga antek-anteknya.

    Dialah orang yang membanting meja tadi. Ali namanya. Wakil ketua ekstrakurikuler judo.

    Sebuah telunjuk ia tujukan tepat ke wajah Shun. Yang hanya mengerjap, menatapnya jeri. Shun yang berbadan kurus bukan tandingan orang semacam Ali. Shun juga tahu diri. Aku tahu dia cerdas, jadi bisa dipastikan ia tak akan terburu-buru layaknya tindakan Wendy di awal tadi.

    Jari Ali masih di udara. Semuanya menanti apa yang akan ia lakukan. Di sisi lain, aku melihat Yupi tengah membisikkan sesuatu ke telinga Ali. Si bawahan mengangguk pelan, dan kembali fokus pada kami bertiga. Kata-katanya sungguh tak terduga saat itu:

    "Ayo bernegosiasi. Kalau kalian memang yakin, rumah sakit itu menyimpan sesuatu di luar otoritas manusia biasa. Kutantang kau untuk pergi menelusur ke sana. Jika kalian gagal. Jangan terlalu berharap menerima konsekuensi menenangkan atas apa yang terjadi hari ini."

    Di saat semua murid terbengong-bengong ketika mendengarkan, hanya Shun yang cukup mempunyai kontrol akan dirinya untuk berpikir.

    "Dan jika kami berhasil?"

    Jeda sebentar. Ali lalu melanjutkan—setelah sempat diberi pengarahan oleh Yupi. "Jika berhasil," ia menelan ludah. "Aku, Yupi, beserta rekan kami yang lain akan berusaha untuk…tidak lagi mengganggu kehidupan kalian."

    Ada pemberhentian khusus di kalimat tersebut. Aku yakin inilah yang membuat Shun mengerutkan alisnya. Ia kemudian menegakkan badan. Upaya untuk terlihat gagah dan meyakinkan. Setidaknya ia ingin terlihat mengintimidasi, sehingga lawannya—paling tidak—goyah pendirian karena telah menawarkan kontrak sembarangan.

    "Ini adalah sumpah. Dan yang menerimanya tidak hanya kami bertiga. Tapi juga berlaku bagi semua murid." Shun mengulurkan tangan. Sebagai tanda ikatan janji tak tertulis yang tengah dibuat.

    Dan begitulah, kronologi singkat tentang bagaimana kami bisa berakhir di neraka jahanam ini. Tanpa bekal pengetahuan barang sesuap pun.


Hari itu masih siang, tepatnya sabtu pukul satu lewat tiga puluh enam menit. Aku, Shun, dan Wendy, telah berkumpul di depan gerbang rumah sakit di tepi Jl. Mayjen Tunka. Siap tidak siap itu bukan urusan, melihat gadis bernama Wendy tersenyum dengan napas yang menggebu-gebu dan sorot mata menantang. Berdiri gagah mendahului kami yang mengikutinya mendorong pagar besi yang telah berkarat, saksi bisu bermulanya petualangan kami.

    Ada beberapa hal yang perlu disampaikan, sebenarnya. Terutama tentang bagaimana bisa muncul teori bahwa rumah sakit ini ‘kabarnya’ sempat—atau bahkan hingga saat ini?—dijadikan markas riset suatu penelitian tertentu. Rumor tersebut beredar di internet semenjak sekitar empat bulan lalu. Dan baru masuk sebagai topik utama di sekolah kami tiga setengah bulan kemudian. Cukup terlambat. Mungkin karena sebagian besar orang di daerah ini terbilang skeptis. Sampai akhirnya sebuah bukti berbicara sebagai tolakan. Tapi hal ini menurutku tidak memengaruhi apapun.

    Kecuali, memang sebaiknya kami melakukan persiapan yang lebih matang sebelum menyelam terlalu jauh ke dalam sana? Banyak platform media sosial yang membahas kesehubungan antara rumah sakit ini dengan pemerintah negara. Bahwa apa yang terdapat di sana merupakan tanggung jawab pemerintah, dan tidak pantas diketahui khalayak ramai. Teori ini diperkuat dengan berjibunnya ‘intel’ yang menyamar untuk mengawasi tempat ini. Memastikan tidak ada yang berani masuk.

    Mesti ditegaskan kembali, ini hanyalah teori tanpa bukti pasti.

    Maka kami di sini, dalam tujuan keberhasilan perjanjian konyol yang kami buat sendiri. Mendorong pintu kaca ganda dengan seluruh tenaga, menimbulkan bunyi decit gesekan nyaring, bergema ketika di dalam. Ini satu-satunya jalur keluar masuk yang bisa diakses.

    Aroma rumah sakit penuh obat dan disinfektan menguar begitu kami melangkah masuk. Walau sedikit bercampur lumut basah yang menempel di mana-mana.

    “Bagus. Kita sudah masuk. Mau mulai dari mana?” Shun berkata pertama kali, menoleh padaku dan Wendy.

    “Mana saja boleh. Ruang farmasi?” Bisikku.

    “Ayo ke IGD.”

    Spontan, aku dan Shun menoleh kaget tepat setelah mendengar opsi kedua, yang berasal dari Wendy. Ia hanya tersenyum menatap ekspresi kami.

    “Sebentar, sebentar. Tidakkah itu terlalu cepat? Uhm, kita bisa mulai dari yang paling mudah, seperti kata Nova. Ruang farmasi?” Kalimat Shun terdengar berbelit, menilik air mukanya yang diliputi keraguan.

    Wendy tertawa. “Aku tidak masalah, sungguh. Tapi, hey, bukankah lebih menarik jika kita memulainya dari bagian inti dahulu?”

    Aku menelengkan kepala. Menyadari jalan pikiran gadis aneh ini. Yang anehnya pula telah menjadi sahabat baikku sedari SMP.

    “Selama ini kita selalu memulai penjelajahan dari awal hingga akhir. Itu membutuhkan waktu lama, dan pasti berakhir hari yang semakin larut atau alarm pengawas tiba-tiba berbunyi. Membuat kita tidak bisa menelusuri lagi ke bagian dalam.” Lanjutnya panjang lebar.

    “Jadi maksudmu sekarang kita akan mulai dengan memasuki bagian paling beresiko dari sebuah rumah sakit supaya langsung puas menemui poin utamanya?” Shun memberi kesimpulan.

    Wendy mengangguk senang, “tepat.”

    Sekali lagi, aku hanya bisa diam. Bukan karena aku tidak mau ikut membahas wacananya, tetapi perasaan yang mengganjal di hati ini aku yakin tidak patut kuhiraukan. Ada yang janggal.

    Aku punya firasat buruk, saat itu. Bodohnya aku acuhkan begitu saja.

    Penjelajahan akhirnya dimulai dari ruang IGD. Persis kata Wendy, biasanya kami akan menelusuri dari yang sepele-sepele saja. Barulah kami akan menemui titik pokoknya, inti, jantung dari suatu tempat yang lama ditinggalkan. Sensasinya sama sekali tak terlupakan.

    Dan ketika pergi ke rumah sakit, ruang Instalasi Gawat Darurat adalah pusatnya. Setelah saudaranya, UGD tentu saja.

    Sebelah IGD, ada ruang operasi. Shun menghampiri pintu logam berdaun dua itu, aku melihatnya berjengit, kemudian buru-buru menutupnya.

    “Kenapa?” Tanyaku.

    Ia menarik napas, mengisyaratkan padaku untuk mendekat. “Darah. Di atas ranjang operasi. Aku juga yakin tadi ada sejumlah organ yang ditaruh di dalam toples-toples bening.” Ucapannya sungguh lirih. Ia kesulitan mengatur detak jantung dan sirkulasi oksigen di tubuhnya, kukira.

    “Aku bersumpah tidak akan kembali lagi setelah ini.”

    Itu sudah pasti. Aku siap mengungkapkan beberapa kalimat penolakan untuk melanjutkan penjelajahan ini. Bahwa aku siap dicerca oleh geng Funky sekalipun, asalkan aku bisa selamat.

    Sayangnya tenggorokanku serasa dicekat entah oleh apa.

    Sepuluh menit. Sepuluh menit Wendy mendahului kami masuk ke ruang IGD. Aku dan Shun melirik satu sama lain. Menelan ludah pun bersamaan. Tidak ada suara yang timbul di sekitar kami. Nihil pula dari dalam sana.

    Apa yang terjadi?

    Wendy bilang akan mengecek keadaan untuk kami. Dan berjanji segera kembali lima menit kemudian.

    Keheningan itu sangat pekat dan memuakkan. Shun beranjak maju, mendobrak pintu di depannya secara paksa.

    Aku mengikutinya. Memasuki ruang instalasi dengan jantung berdebar kencang.

    …Ah, ruangan itu berantakan seperti habis diobrak-abrik seseorang selain manusia. Kasur-kasur dalam posisi terbalik, patah, tersangkut di jendela hingga menjorok keluar. Kondisi yang sama dialami oleh sejumlah rak dan lemari. Toples-toples bening, semuanya diisi organ tubuh manusia, seperti yang dilihat Shun di ruang operasi.

    Bercak darah kering tersebar hampir menutupi sebagian besar dinding dan lantai. Cahaya yang seharusnya masuk dari jendela menjadi terhalangi. Kalau yang hitam legam di tengah ruangan itu apa, ya?


    Ukurannya besar, gemuk, berlendir. Aku perlahan menoleh pada Shun, yang berdiri membeku sembari menunjuk ke sana. Ke tengah ruangan yang disoroti satu-satunya lampu yang masih hidup.

    Ini masih siang bukan? Aku berpikir saat itu. Lalu kenapa semua terasa gelap? Darah itu benar-benar kamuflase.

    Sesuatu itu bergerak. Benar-benar bergerak. Seakan akan benda atau apapun itu, hidup. Kedua tungkaiku tak mampu bergeser barang seinci pun. Kami hanya berdiri mematung, empat mata terfokus pada makhluk yang perlahan terlihat memosisikan tubuhnya.

    Benda itu punya mata. Juga mulut. Masing-masing satu di tengah. Besar mendukung badannya. Ia juga punya taring. Setara ukuran gading walrus. Raganya panjang, sekilas mengingatkanku pada hewan yang menggeliat di tanah.

    Makhluk tak dikenal itu sedang mengunyah. Cairan kemerahan mengalir dari sudut lubang yang kupikir mulanya adalah mulutnya. Lalu satu hal lain yang kusadari, sebuah lengan menjulur keluar dari situ. Dengan jam tangan bermerek yang langsung kukenali pemiliknya.

    Lagi, aku melirik Shun. Ia juga menatapku. Pikiran kami saling terhubung, sepertinya.

    Mati.

    Di detik terakhir sebelum pintu di belakang kami tertutup dengan sendirinya, aku baru menyadari, ayah Yupi juga bekerja untuk pemerintah kota.



fin.


0 Kudos

Comments

Displaying 0 of 0 comments ( View all | Add Comment )