volkova's profile picture

Published by

published
updated

Category: Books and Stories

hujan di bentala

Gerbang Naku menutup rapat dirinya sementara bocah mungil itu sesenggukan menahan tangis di bawah pohon jambu. Sudah satu jam berlalu, hujan tak kunjung reda. Entah di mana orang tua pria kecil itu, tempat ini sepi di kala hujan, selalu begitu. Dan gerbang yang menjadi akses keluar-masuk pedalaman akan digembok oleh para jagapati yang konon terlatih untuk terjaga selama dua puluh empat jam tanpa tidur itu.

    Juga selalu ketika hujan datang menggenangi tanah pertiwi. Namun baru kali ini arahan mataku menangkap siluet tipis dari seorang anak manusia, berjongkok sambil bergelung ke dalam lipatan kedua lengannya. Kepalanya menunduk, dan bisa kulihat tubuhnya yang bergetar. Tepat di bawah kerindangan pohon jambu air di depan gerbang.

    Menyadari munculnya rasa penasaran atas kejanggalan, aku mendekatinya.

    Tepat saat ia mendongak, mata kami langsung bertemu. Besar dan bundar miliknya, berwarna cokelat kelabu, merefleksikan segala sesuatu di hadapannya bagai sepasang cermin. Sekilas, aku merasa seakan telah mengetahui bagaimana nasib anak ini kedepannya.

    “Sedang apa kamu disini?” Aku bertanya.

    “Menunggu.” Bocah itu menjawab. Menyedot ingus dan mengusapnya menggunakan lengan baju, menyisakan bercak noda gelap di sana.

    Ingin aku bertanya siapa, atau mungkin apa yang ia tunggu. Tetapi rintisan air semakin lebat, dan dedaunan batang jambu ini tentu tidak selamanya mampu membendungnya supaya tak sampai ke permukaan tanah. Anak ini akan kebasahan.

    “Setidaknya ayo berteduh. Di tempat lain.” Ajakku. Berusaha memasang tampang selembut mungkin agar bisa mempersuasinya.

    Di luar perkiraan, bocah itu menggeleng. “Tunggu,” ujarnya. Kali ini sedikit lebih tegas.

    Hujan terus mengganas, dan walaupun aku tidak lagi bisa merasakan tiap tetesannya secara langsung, bocah ini bisa.

    “Siapa namamu?”

    “..Tama.”

    Sedetik kemudian, Tama telah berada di dekapanku. Kubawa ia berlari menuju sisi lain tembok pembatas desa. Tembok jerami setinggi sepuluh meter yang memagari wilayah pemukiman, memisahkannya dari kawasan hutan di sekeliling.

    Aku membawanya ke sebuah pojok angkringan favorit bagi seorang penyendiri sepertiku. Masih berwujudkan sebatang pohon, tetapi lebih besar dan tinggi, serta jangkauan dahan kayu yang lebar sehingga bocah ini tidak terkena banyak air.

    Ketika aku menoleh ke bawah, Tama sudah mengambil ancang-ancang mendorongku menjauh. Dan ia melakukannya. Kami terpisah beberapa langkah. Tama menolak kontak mata, berjalan ke sisi lain pohon. Lalu duduk di atas akar yang menimbul. Kembali memosisikan diri seperti sebelumnya—membenamkan kepala pada lipatan kedua lengan.

    Aku hanya menatap dan menatap. Berpikir apa gerangan yang telah terjadi.

    Untuk sesaat, tidak ada hal istimewa. Hanya sebuah pohon jati besar, tanah becek, hujan, aroma petrikor, Tama, dan aku yang dilanda kebingungan.

    “Tama?” Tidak ada jawaban. Kucoba lebih dekat demi memancing komunikasinya denganku.

    “Tama.”

    “Aku bilang aku tidak ingin pergi. Tidak akan.”

    “Aku tidak pernah memintamu pergi.”

    Tama melirik tajam ke arahku. Skleranya bertambah merah akibat menangis. Bocah ini tangguh. “Tidak ada salahnya dengan mengajak berteduh. Inilah kebaikan.” Aku duduk di akar batang yang sama dengannya, meski berjarak.

    Sekali lagi, suara hujanlah yang lebih mendominasi. Tama dan aku, tiada kata dan frasa yang muncul membuat situasi semakin tidak mengenakkan. Itulah yang kuyakini menilik dari gambaran perilaku yang ditampilkan oleh anak kecil di sampingku ini.

    Terus begitu, sampai sepuluh menit berikutnya. Ketika nampaknya tangisan gundah gulana sang awan kembali mereda. Ketika secarik sinar jingga penanda hari telah sore bersinar menembus cakrawala. Ketika aku mulai berpikir adalah waktu yang tepat menyelesaikan permasalahan yang belum juga tuntas ini secepat mungkin.

    Aku beralih pada Tama si bocah. Sikapnya telah berubah, sekarang ia mengangkat kepalanya. Duduk manis sebagaimana normalnya.

    Meski tanpa menatap langsung padaku, ia bertanya: “Kau ini siapa?”

    Intonasinya terdengar sedikit kasar. Aku memilih acuh, dan menjawabnya.

    “Panggil saja Naku.”

    Seakan tertarik mendengar nama yang kuucapkan, yang baru saja kuakui sebagai namaku, Tama akhirnya mengalihkan perhatiannya dari tatapan menjurus ke depan. Ia memandangku, terpesona.

    Aku menelengkan kepala sembari tersenyum tipis. Mengerti perasaannya.

    Sebut saja, namaku ini memang bukanlah nama asli. Aku tidak ingat—dan sungguh aku tidak mampu—namaku yang sebenarnya. Aku juga tidak mempunyai satupun kenangan akan siapa yang memberikannya padaku pertama kali. Berdasarkan memoriku sampai saat ini, aku selalu sendiri. Bahkan sejak awal aku mungkin dilahirkan ke dunia, tidak ada yang lain, hanya aku seorang.

    Untuk julukan ‘Naku’ sendiri, warga desa lah yang secara sukarela menganugerahkannya kepada diriku. Yang diambil dari nama gapura itu, perantara desa yang dianggap paling suci. Kedua setelah kuil Teki.

    “Naku… Apa kamu juga tinggal di desa ini?”


Selama beberapa waktu, aku dan Tama semakin dekat. Yang pertama mengajaknya untuk memasuki desa adalah aku. Sulit memintanya, karena Tama bersikeras untuk tetap berada di luar area pedalaman. Menolak masuk.

    Namun kemudian, setelah seorang jagapati yang tengah bekerja melihat Tama, ia berseru dan berkata bahwa seseorang bernama Nyonya Rumi mencarinya.

    Aku melirik mukanya yang menggambarkan sesuatu antara gembira, atau ekspresi seperti ingin protes. Meski akhirnya ia setuju akan memasuki desa.

    Kami menghabiskan kebersamaan sepanjang dua hari ini. Tama yang mulai menunjukkan keterbukaannya kepadaku, kemudian bercerita panjang lebar mengenai keluarganya. Tama merupakan anak tunggal, ibunya seorang ibu rumah tangga biasa dan ayahnya seorang buruh harian dengan penghasilan yang berkecukupan. Menilik raut mukanya yang tak mengisyaratkan apapun, sedikit membuatku penasaran tentang apa yang sesungguhnya ia rasakan. Orangtuanya pergi ke perkampungan lain dan sengaja meninggalkannya sendiri di sini, bukan?

    Pernah juga Tama bertanya balik mengenai masa laluku. Rumahku, keluargaku, kehidupanku…Meski tak ada satupun berhasil kujawab dengan tuntas dan memilih mengganti topik pembicaraan dengan pertunjukkan drama boneka yang sedang ditampilkan. Sembari Tama memakan camilan gratis, tertawa bersama.

    Kemudian, kami benar-benar telah menjadi sesuatu yang disebut sebagai sahabat. Bukan hanya teman, sahabat. Di setiap detik, menit, dan jam, kami selalu menempel satu sama lain. Akulah yang selalu mengikuti kemanapun ia pergi sekarang. Sebuah perkembangan yang mengagumkan dalam waktu yang amat singkat. Bahkan sekarang, Tama berani untuk memulai percakapan dengan seseorang selain diriku. Atas dorongan dariku, ia bergaul dengan anak-anak sebayanya. Mengobrol dan bercanda ria.

    Oh, aku lupa. Sebelum ini, Tama sedang dicari oleh nenek tetua desa bernama Nyonya Rumi. Dan di hari ketiga barulah aku dan Tama berkunjung ke kediamannya. Permintaan Tama ini kusetujui atas penilaianku terhadap dirinya yang nampak masih harus menyiapkan mental untuk bertemu orang-orang desa.

    Nyonya Rumi rupanya ingin memberikan tawaran kepada Tama untuk tinggal bersamanya dan beberapa anak lain yang bernasib hampir sama dengan Tama. Baru-baru ini, Nyonya Rumi berideologi untuk menampung dan merawat anak-anak tersebut di rumahnya. Ia menyebutnya ‘panti’. Dan ketika beliau mendapat laporan dari salah satu jagapati yang melihat seorang bocah sedang berjongkok di bawah pohon jambu depan gapura saat hujan datang, ia langsung memberi perintah untuk memanggil sang bocah, yaitu Tama sendiri.

    Dan di sinilah sebuah fakta kemudian terungkap. Kenyataan yang akan menentukan nasib pertemananku dan Tama nantinya.


    Nyonya Rumi memiringkan kepala, bingung. Ia dan sejumlah anak yang juga ada di sekitar memusatkan perhatian pada Tama. Sebagian terlihat penasaran, sementara air muka Nyonya Rumi semakin tak terbaca. Tama baru saja memperkenalkan dirinya, dan aku. Menurutku wajar ia memasang tampang seperti itu.

    “Tidak ada gadis muda di sini, nak,” ujar Nyonya Rumi, mendekat dan mengelus pipi Tama lembut, “hanya Nenek, kamu, dan tiga temanmu itu. Tak seorangpun menyerupai perempuan berbaju putih seperti yang kamu terangkan.”

    Tama mengeluarkan suara ‘oh’ pelan. Tapi kemudian, ia terlihat sadar akan keanehan, dan dengan tergesa ia membalikkan tubuhnya menghadapku. Mengacungkan jari telunjuknya ke arah yang di mata semua orang di ruang tamu ini selain Tama, tidak ada apapun kecuali udara kosong.

    “Tapi dia ada! Di sini, di belakangku! Bohong jika kalian tidak melihatnya!!” Tama terus menunjuk-nunjuk di udara dengan kasar.

    Sementara aku memerhatikan seluruh kejadian secara rentet tanpa memasang ekspresi khusus. Tidak pula muncul perasaan tertentu dari dalam sukma sana…kalaupun itu masih ada.

    Tama beradu pandang denganku. Mata yang penuh tanda tanya, menuntut jawaban. Namun aku yakin ia tak akan menemukan penjelasan lebih hanya dari raut wajahku. Aku justru membalasnya dengan tatapan datar, yang rupanya memancing kefrustrasian dari bocah sekecil itu.

    “Sebenarnya, apa yang...terjadi?”

    Akibat keterlambatanku ketika ingin menjawab, Tama yang sudah terlanjur diliputi kekesalan, beranjak dari pendiriannya dan berlari seperti angin menerobos pintu kayu rumah Nyonya Rumi. Tidak cukup waspada akan tindakan Tama yang terlalu tiba-tiba, Nyonya Rumi sempat menjerit memanggil si bocah dan memintanya untuk kembali. Sebelum beliau menyerah dan mendesah amat lirih.

    Untuk sesaat, aku merasa ada yang tengah menatapku. Dan berpikir Nyonya Rumi nyatanya juga menyadari keberadaanku.

    “Di manapun kau berada pada detik ini,” wanita tua itu memulai, “saya mohon, bantulah anak itu.” Ia menunduk. Membungkukkan badannya sedemikian rupa, tampak kesulitan dengan tubuhnya yang ringkih itu.

    Aku tetap bergeming. Tidak menahu apakah wanita di sisiku benar-benar sedang melihatku. Atau apakah ia cuma menerawang, berharap aku memang berada di sini dan mendengarkan ucapannya.

    Dan kurasa opsi kedua lebih tepat.

    “Nenek, kenapa kau membungkuk? Apa punggungmu sakit lagi?” Seorang anak perempuan menghampirinya. Meski sang nenek masih dalam posisi khidmatnya.

    “Nek?”

    “Saya mohon, lindungi kami dari segala yang dikatakan buruk. Desa ini, begitu juga Tama, berada di tanganmu. Wahai, nona roh yang agung.”

    Aku tidak terlalu menghiraukan perkataannya yang terakhir. Sebab setelah segera keluar dari rumahnya, pikiranku terfokus untuk mencari Tama. Otakku berpikir keras, berusaha mengira-ngira lokasi yang mungkin akan dituju olehnya di waktu seperti ini.

    Lalu, kedua kakiku memimpin atas kehendaknya sendiri, melangkah dan membawaku ke depan area perkampungan. Gerbang Naku.

    Dan di sanalah ia, dengan pemandangan yang begitu familiar bagi kedua mataku. Tama nampak berdiam diri di bawah pohon jambu, berjongkok, tatapannya lurus ke depan sana. Tidak tahu apa yang ia terawangi. Dan sebagaimana semula ketika pertemuan pertama kami, aku menghampirinya.

    Bedanya kali ini, ia sama sekali tak terlihat berinisiatif untuk mengalihkan pandangannya untuk melihat siapa yang datang. Justru, ia malah menjauh. Dan berkata dengan nada lancang:

    “Kenapa kau mengikutiku?”

    “Ada yang ingin kubicarakan.”

    “Bahwa kau sebenarnya sudah mati dan sekarang menjadi arwah gentayangan? Tidak usah repot memberitahu, aku cukup peka untuk menyadarinya.”

    Aku melirik tubuh kecilnya. Tidak tahu bagaimana cara menanggapi ucapannya. Sebagian memang benar, roh dan arwah pada dasarnya sama saja. Tetapi yang mungkin akan menjadi kontra dalam hal ini, ialah saat Tama mengatakan kalau aku sudah mati. Inilah yang menimbulkan rasa ragu. Apakah memang begitu? Lalu bagaimana dengan memorinya? Aku bahkan tidak ingat kapan dan bagaimana aku lahir. Atau siapa orang yang mengandung dan melahirkanku, siapa yang membesarkanku. Dan bagaimana aku mati? Kenapa?

    Bagaimana caraku memberitahu Tama?

    “…”

    “Pergilah,” bisik Tama, “aku tidak masalah kembali sendirian.”

    Tama lalu bangkit perlahan. Masih tanpa memandangku sedikitpun. Tepat sebelum ia bisa melangkah pergi, aku meraih bahunya, menariknya ke lingkaran kedua tanganku. Aku memeluknya. Tama sendiri jelas terkejut akan sikapku. Aku tak peduli. Semua harus diluruskan, atau aku akan menyesal selamanya.

    “Maaf. Maafkan aku, Tama.” Ini pertama kalinya aku memohon sesuatu pada seseorang.

    Aku merasa Tama ingin memberontak dari pelukanku, ia menggeliat tak nyaman. Seluruh tubuhnya bergetar. “Maaf sudah berbohong,” aku menambahkan.

    Isakan kecil terdengar, tak lama kemudian Tama berujar lirih.

    “Orang-orang di desa bilang,” kalimatnya terpotong demi sedu sedan deru napasnya yang tak beraturan sementara air matanya terus mengalir, “ketika seseorang telah bertemu dengan roh hujan, dan menghabiskan masa tiga hari bersamanya..”

    Maka di saat waktunya berpisah, keduanya tidak akan pernah saling berjumpa lagi selama-lamanya. Adalah kalimat Tama yang tak berani ia ucapkan, sebab derai tangisnya semakin membahana. Aku tahu, karena aku juga mendengarnya. Legenda yang selama puluhan tahun mengalir di tiap generasi, tak pernah luntur.

    “Walaupun kini aku tak lagi di sampingmu, bukankah Tama sudah punya teman baru di desa?” Dalam rengkuhan, aku berbisik di telinganya pelan, “Tama bisa bermain dengan mereka mulai sekarang, Tama juga dulu berkata untuk tidak bergantung pada orang lain, kan? Tama bisa, dan harus menjalani hidup atas pilihan Tama sendiri.”

    Aku terus membujuknya dengan kata-kata manis. Berusaha menyemangatinya agar tidak berputus asa. Agar ia berhenti menangisi hal-hal yang tak perlu.

    Tanpa kusadari, sesuatu yang tipis dan basah jatuh dari pelupuk mataku. Aku tetap acuh, terus mendekap Tama sementara tubuhku kubiarkan mengabur seiring detik. Bermula dari kedua kakiku, kemudian paha, pinggang, bagian abdomen hingga menjurus ke lengan dan leher.

    Tama sadar diriku yang semakin melemahkan pelukan, berbalik dengan paniknya.

    Sayang, ia terlambat.

    Kau telat, Tama.

    Lihat, tidak ada apapun lagi di sana.

    Aku masih bisa melihatmu, tapi kau tidak.

    Tama berdiri mematung di bawah pohon jambu air di depan gerbang Naku. Memandang penuh kekosongan ke arah di mana aku menghilang dari penglihatannya. Untuk selamanya.

    Air mata itu telah mengering, sekarang. Anak itu, setelah beberapa saat merenung, ia kembali duduk. Sembari memeluk sepasang lututnya, Tama menghela napas lalu memejamkan matanya.

    Dan gerimis pun datang.



fin.


0 Kudos

Comments

Displaying 0 of 0 comments ( View all | Add Comment )